“Aku bukan anak bodoh!” Problematika Siswa Slow Learner di Sekolah Dasar

“Aku bukan anak bodoh!”  Problematika Siswa Slow Learner di Sekolah Dasar
Ilustrasi anak slow Learner (foto: internet)

Penulis :Arifati Ilma Lubis, M. Psi., Psikolog  dan Ajeng Safitri, M. Psi., Psikolog Dosen Psikologi Islam Universitas Muhammadiyah Riau

Pendidikan merupakan wadah bertumbuh bagi perkembangan kognitif manusia. Sejak dalam kandungan, manusia sejatinya sudah dikenalkan dengan pendidikan melalui ibunya hingga ia lahir ke dunia. Seiring perkembangan manusia, pendidikan tidak terlepas dari tahapan kehidupan. Mulai dari pendidikan di keluarga, hingga pendidikan formal sesuai usianya.

Pendidikan formal di Indonesia memiliki jenjang-jenjang yang harus dilalui secara bertahap dan diukur melalui kelulusan yang terstruktur. Salah satunya adalah Sekolah Dasar yang memiliki peraturan syarat usia kesiapan sekolah dari jenjang TK masuk ke SD yaitu 7 tahun. Jika dilihat dari sisi lainnya, peraturan ini tidak sepenuhnya dipahami oleh orangtua saat ini. Masih ada orangtua yang terkesan memaksakan anaknya untuk masuk SD di bawah 7 tahun, yaitu sekitar 5-6 tahun tanpa adanya keterangan pemeriksaan psikologis dari tenaga profesional.

Fenomena ‘pemaksaan’ tersebut, sangat jauh dari kematangan usia sekolah yang merupakan salah satu faktor penentu kesiapan sekolah. Ketika hal ini berlanjut, maka muncul permasalahan baru dalam proses belajar anak. Salah satunya adalah, munculnya kesulitan belajar yang menjurus pada kategori Slow Learner.
Slow Learner, atau siswa lambat belajar, merupakan siswa dengan keterbatasan kemampuan kognitif yang dapat menimbulkan kesulitan dalam kehidupan akademiknya (Reddy, 2006). Skor tes inteligensi siswa Slow Learner, biasanya antara 70 – 85 menunjukkan bahwa siswa memiliki fungsi intelektual di ambang batas (borderline) (Shaw, 2008).

Kemampuan kognitif merupakah aspek penting dalam proses belajar siswa. Hambatan yang muncul, biasanya dipicu oleh adanya ketidakseimbangan perkembangan kognitif dengan usia yang seharusnya. Kemampuan kognitif yang kurang berkembang menyebabkan mereka kesulitan untuk melakukan proses mental yang kompleks, seperti penalaran, abstraksi, analisis, serta berpengaruh pada kemampuan mereka untuk memahami materi yang bersifat simbolik (bahasa, angka, dan konsep). Hal ini lah yang dialami siswa dengan kesulitan belajar Slow Learner.

Pada beberapa kasus, siswa Slow Learner ditemukan pada jenjang sekolah dasar antara kelas 2-4 SD. Diantara mereka ada yang terpaksa mengulang, atau tidak naik kelas. Hal ini berdasarkan laporan keluhan dari guru yang menyatakan bahwa siswa tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik, sulit memahami materi yang diajarkan, lambat menyelesaikan suatu tugas, sulit mengingat dengan baik, bahkan ada yang cenderung menarik diri dari interaksi di dalam kelas. Menarik diri dan tidak mau berinteraksi dengan guru dan teman-temannya, merupakan perilaku yang sangat sering dijumpai pada siswa Slow Learner. Pemicunya, karena adanya ‘labelling’ yang mnyatakan bahwa anak ini pemalas, aneh, bahkan dibilang bodoh yang muncul dari guru atau pun tema-temannya. 

Perlu diketahui, siswa Slow Learner pada dasarnya mampu mencapai prestasi akademik dalam tingkat tertentu dan memahami materi serta mengerjakan tugas, tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dibanding teman sekelasnya (Shaw, 2010). Oleh karena itu, masih menjadi pertimbangan bahwa siswa slow learner bukan anak dengan berkebutuhan khusus (ABK). Meskipun mereka mengalami tingkat kegagalan yang tinggi pada seting pendidikan umum, tetapi tidak memenuhi syarat untuk pendidikan khusus (Shaw, 2008).

Siswa slow learner membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memahami materi, dikarenakan mereka kurang mampu menggeneralisasi dengan baik, sehingga membutuhkan lebih banyak latihan untuk memahami dan menerapkan konsep baru. Siswa dengan kecerdasan rata-rata atau di atas rata-rata cukup mempelajari aturan atau strategi pada materi yang diberikan dan mampu mengaplikasikan secara tepat, tetapi pada siswa slow learner, mereka perlu belajar mengenai semua aplikasi pada setiap strategi yang diajarkan sebelum dapat memahami konsep materi dan aplikasinya.

Permasalahan lain yang muncul, setiap sekolah memiliki standar penilaian dan evaluasi pembelajaran, sehingga hal ini juga memicu hambatan kinerja pada guru yang harus memberikan nilai sesuai dengan kemampuan peserta didiknya. Bagi siswa slow learner, sebenarnya sudah banyak guru yang menerapkan metode-metode yang relevan untuk memberikan pengajaran dan bimbingan bagi siswa ini.

Metode pembelajaran dengan ceramah, diskusi dan tanya jawab pada dasarnya dapat diberikan kepada anak slow learner (Rofiah & Rofiana, 2017), namun metode tersebut perlu digarisbawahi tidak akan efektif jika guru tidak menginovasi cara mengajar mereka. Salah satu metode yang banyak digunakan adalah remedial teaching, yaitu metode pembelajaran dengan menyediakan waktu untuk membimbing siswa slow learner dalam mengulang kembali pelajaran yang belum dipahaminya, tujuannya adalah menolong siswa untuk mencapai hasil yang diharapkan. 

Perlu diingat, materi pelajaran yang diberikan kepada siswa slow learner, harus bertahap, tidak dibebankan terlalu banyak, detail dan jelas.
Selain metode yang diterapkan oleh guru di sekolah, guru juga harus bekerjasama dengan orangtua, begitu pun sebaliknya. Peran orangtua di rumah, dapat melanjutkan pelajaran yang diberikan guru di sekolah. Misalnya, dengan menyediakan waktu untuk mengulang kembali materi pelajaran yang diberikan kepada anak, sehingga anak dilatih untuk mulai mengingat materi secara bertahap. Kemudian, berikan motivasi kepada anak merupakan kewajiban yang harus terus diterapkan dalam keluarga.

 Misalnya, menyemangati anak dan memberi reward/hadiah jika anak berhasil mengingat materi atau menjawab pertanyaan. Hal ini dikarenakan, anak slow learner cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah (Ardianti & Wanabuliandari, 2022).

Oleh karena itu, dapat disimpulkan, siswa slow learner bukanlah siswa yang harus dikategorikan dalam anak berkebutuhan khusus. Permasalahan yang dialami mereka paling sering muncul dalam seting sekolah. Meskipun bukan sekedar kesulitan belajar saja, namun juga permasalahan kepercayaan diri yang rendah dan dipicu adanya ‘labelling’ dari guru dan teman. Peran orangtua dan guru dalam menghadapi anak slow learner ini sangat penting dengan saling bekerjasama dalam hal mendidik, membimbing dan memberikan penghargaan berupa pujian atau hadiah agar mereka termotivasi dalam berproses dan bertumbuh di dunia pendidikan saat ini.

Referensi :
Reddy, G.L., Ramar, R., Kusuma, A. (2006). Slow Learner: Their Psychology and Instruction. New Delhi: Discovery Publishing House.
Shaw, S.R. (2008). An Educational Programming Framework for a Subset of Students With Diverse Learning Needs: Borderline Intellectual Functioning. Intervention in School and Clinic. SagePub.Shaw, S.R. (2010). Rescuing students from the slow learner trap. Principal Leadership, p.12-16, National Association of Secondary School Principals. Rofiah, N.H., Rofiana. I. (2017). Penerapan metode pembelajaran peserta didik slow learner. Naturalistic: Jurnal Kajian Penelitian Pendidikan dan Pengajaran. Vol. 2, No. 1 Ardianti, S.D., Wanabuliandari, S. (2022). Confidence worksheet berbasis ethno-edutaiment untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa slow learner. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Sekolah Dasar. Vol. 6, No. 1.**

Berita Lainnya

Index